Liputan6.com, Jakarta - Batik dan perdamaian sudah menjadi satu paket. Batik nusantara memang mengusung semangat perdamaian. Perdamaian dalam keberagaman merupakan salah satu spirit batik.
Pada 2019 ini, batik mencapai 10 tahun sebagai warisan budaya tak benda UNESCO. Momen ini bisa jadi penyegar nilai-nilai keberagaman yang sekaligus wujud dari keharmonisan batik.
Keberagaman makna dalam motif-motif batik sudah menjadi karakter dari batik itu sendiri. Pada dasarnya batik memiliki nilai perdamaian dan damai.
“Batik merupakan semangat yang merepresentasikan ke-bhineka tunggal ika- an kita,” kata Kwan Hwie Liong, peneliti dan pendamping pembatik, di Jakarta, Rabu (6/3/2019).
Direktur Institut Pluralisme Indonesia IPI itu mengatakan pada dasarnya batik memiliki nilai perdamaian dan damai. Memang makna perdamaian itu sendiri muncul dalam motif-motif batik, seperti sekar jagad.
“Ada juga ornamen batik berbentuk burung hong atau phoenix juga berarti perdamaian,” kata Kwan yang juga dikenal sebagai Willian Kwan.
Menurut Kwan, jika ditafsir secara subyektif, bisa saja satu motif batik punya arti damai. Hal ini karena harapan baik selalu ada dalam setiap motif batik. Contohnya, menurt Kwan, adalah motif mega mendung, bisa ditafsir sebagai harapan terhadap perdamaian.
“Mendung adalah kesulitan, termasuk konflik atau masalah. Melihat mega mendung, kita berharap akan hujan, yang bermakna, kesulitan sirna, kebahagiaan dan kedamaian hadir kembali,” jelas Kwan.
Pada akhirnya, makna damai memang perlu diartikan lebih jauh dari apa yang muncul dalam motif. Menurut dia, ‘damai’ itu bisa eksplisit tergambar pada sebuah motif bisa juga tidak eksplisit.
“Atau sebuah proses spiritualitas pribadi pembatik, terlepas dari apapun motif, kehalusan, pencantingan dan lain-lain,” kata peraih penghargaan Champion dalam “Community Entrepreneur Challenge 2010” kategori Semi Established Community Entrepreneurs oleh British Council dan Arthur Guinness Fund itu
“Seorang pembatik harus berdamai terlebih dahulu dengan dirinya sendiri sebelum berkarya, atau membatik,” kata Kwan yang pada awalnya meneliti batik Lasem, Kabupaten Rembang.
Dia mencontohkan, tentang pembatik-pembatik yang dia kenal, yang mengedepankan spiritualitas.
“Di Batang, ada pembatik bernama Umriyah, yang bagi orang lain mungkin hasil karyanya kurang menarik. Namun saya mengenalnya bukan hanya via batiknya melainkan pribadinya yang begitu sederhana, penuh gairah, sangat sabar dan belajar hingga usia lanjut, sekarang bu Umriyah berusia sekitar 80 tahun,” Kwan menuturkan.
Yang bisa dipelajari dari Umriyah adalah proses pembatikan yang kontemplatif. Perubahan motif merupakan refleksi dari batinnya.
“Saya memesan sekitar 25 lembar batik dari Bu Umriyah, dan setiap lembarnya merupakan ungkapan batin yang sudah berhasil berdamai dengan diri sendiri,” kata Kwan.
Inti dari batik sebagai warisan budaya tak benda adalah refleksi batik dalam batik.
“Membatik untuk menghadirkan ‘diri’ atau ‘sesuatu’, harus puasa terhadap debu duniawi, misalnya membatik demi uang belaka. Ia harus berdamai dengan dirinya dulu saat menganggit batik,” kata Kwan.
No comments:
Post a Comment